JAKARTA-Koranlibasnews.com Advokat Viktor Santoso Tandiasa menyampaikan perbaikan permohonan pengujian Pasal 81 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung (UU MA), Pasal 9 UU 22/2004 tentang Komisi Yudisial (KY) sebagaimana telah diubah UU 18/2011, Pasal 9 UU 24/2003 tentang Mahkamah Konstitusi (MK) sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU 7/2020, dan Pasal 7 ayat (2) huruf b UU 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara. Dia mengatakan advokat spesialis pajak Nurhidayat dan wartawan sekaligus Ketua Umum Ikatan Wartawan Hukum Irfan Kamil bergabung menjadi Pemohon dalam perkara ini.
“Pada prinsipnya merasa hak konstitusionalnya terlanggar atas keterbukaan informasi dan digitalisasi yang kerap sering terhambat karena persoalan anggaran di badan peradilan,” ujar Viktor dalam sidang perbaikan permohonan 189/PUU-XXIII/2025 pada Kamis (30/10/2025) di Ruang Sidang MK, Jakarta.
Selain itu, para Pemohon mengatakan sudah menambahkan penjelasan mengenai asas nemo judex dalam bagian alasan-alasan permohonan. Salah satunya, dalam permohonan ini mengadili norma bukan mengadili kepentingan lembaganya. MK juga memiliki mandat konstitusional sebagai the guardian of constitution. Para Pemohon juga menambahkan asas nemo judex dibatasi oleh doktrin keniscayaan.
“Mahkamah Konstitusi bukan penerima manfaat secara langsung karena uraian kami lebih banyak membahas tentang badan peradilan di bawah Mahkamah Agung,” kata Viktor.
Dalam permohonan sebelumnya, Pemohon menilai pasal-pasal yang diuji tersebut mencerminkan belum ada kemandirian anggaran lembaga yudikatif sehingga prinsip kekuasaan kehakiman yang merdeka sebagaimana amanat Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 belum terwujud. Dampak dimaksud antara lain pengurangan independensi karena ketergantungan anggaran pada eksekutif memungkinkan intervensi dan tekanan terhadap independensi hakim; pengelolaan anggaran tidak mandiri karena lembaga yudikatif terbatas dalam menyusun dan mengelola anggaran sesuai kebutuhan nyata mereka; keterbatasan anggaran dapat mengurangi kesejahteraan hakim yang berdampak pada motivasi dan kualitas kerja; keterbatasan anggaran menghambat pengembangan fasilitas, teknologi, pelatihan, dan sumber daya penting lainnya; serta dampak dari pengurangan independensi dan kesejahteraan berpengaruh pada penurunan mutu putusan peradilan. Dampak-dampak tersebut dinilai berpengaruh pada pelayanan dan penanganan perkara pada lembaga yudikatif yang menjadi lingkup Pemohon dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya.
Sebagai informasi, Pasal 81A ayat (1) UU MA menyebutkan “Anggaran Mahkamah Agung dibebankan pada mata anggaran tersendiri dalam anggaran pendapatan dan belanja negara.” Pasal 9 UU KY menyatakan “Anggaran Komisi Yudisial dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.” Pasal 9 UU MK menyebutkan “Anggaran Mahkamah Konstitusi dibebankan pada mata anggaran tersendiri dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.” Pasal 7 ayat (2) huruf b UU Perbendaharaan Negara menyatakan “Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara berwenang: b. mengesahkan dokumen pelaksanaan anggaran.”
Menurut Pemohon, ketentuan pasal-pasal yang diuji mengatur pengajuan usulan anggaran lembaga yudikatif untuk masuk dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tanpa adanya penegasan otonomi dan mandiri yang memungkinkan usulan tersebut dikurangi atau diubah secara substansial oleh lembaga eksekutif (sebelum disetujui DPR). Jika lembaga yudikatif bergantung secara substansial pada persetujuan eksekutif untuk anggaran intinya, maka hubungan checks and balances menjadi timpang, yang pada akhirnya menurunkan derajat kemandirian lembaga tersebut dalam menegakkan hukum dan keadilan.
Pemohon ingin menteri keuangan hanya bertindak sebagai fasilitator administrasi dan tidak dapat mengubah substansi usulan tanpa persetujuan bersama lembaga yudikatif yang bersangkutan dan DPR sebagai perwakilan rakyat dalam pembahasan APBN. Karena itu dalam petitumnya Pemohon memohon kepada Mahkamah untuk menyatakan Pasal 81A ayat (1) UU MA, Pasal 9 UU KY, dan Pasal 9 UU MK bertentangan secara bersyarat dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai sebagaimana petitum Pemohon. Pemohon ingin pasal-pasal tersebut dimaknai agar anggaran diajukan oleh lembaga masing-masing, baik MA, KY, atau MK kepada DPR untuk dibahas dalam pembicaraan pendahuluan rancangan APBN dan hasil pembahasan tersebut disampaikan pada menteri keuangan sebagai bahan penyusunan rancangan Undang-Undang tentang APBN.
Pemohon juga memohon kepada Mahkamah untuk menyatakan Pasal 7 ayat (2) huruf b UU Perbendaharaan Negara bertentangan secara bersyarat dengan UUD NRI Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai “Pengesahan dokumen pelaksanaan anggaran bagi yakni Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi hanya terbatas pada verifikasi kepatuhan administratif dan akuntabilitas formal, dan tidak digunakan untuk mengubah, mengurangi, menunda, atau membatalkan substansi alokasi anggaran hasil dari Pembicaraan Pendahuluan Rancangan APBN Mahkamah Agung/Mahkamah Konstitusi dengan DPR.”(Tim)












