AMUK TUAN SINGA
Opini – koranlibasnews.com Dunia Persilatan memang selalu gandrung dengan huru-hara. Dimana ada perkara, disitu mesti ramai para Pendekar yang riuh mengadu jurus andalannya. Ada yang menentang dengan terang-terangan, ada juga yang sembunyi-sembunyi sembari menghembus dari kejauhan. Tapi, tidak sedikit yang berbaris memanjang dibawah ketiak penguasa, tersandera dengan judul kerjasama.
Bersama dengan kawan-kawan sejawatnya, Tuan Singa, sang Pendekar kesohor, dengan lantang menyatakan perlawanan terhadap angkara murka dalam huru-hara bimtek dana desa yang dalam proses penegakan aturannya tidak didasarkan pada keadilan dan kebenaran.
Memang ada desas-desus kalau gerakan yang dilakukan oleh Tuan Singa bersama kawan-kawannya merupakan pesanan dari pihak Pengratin yang bakal ditumbalkan. Padahal, aslinya gerakan yang dilakukan itu merupakan sebuah petuah suci yang diperoleh setelah melakukan tirakat di Gunung Keramat tertinggi di Negeri itu.
Gerakan itu sendiri bertujuan agar Penegak Aturan yang berada dibawah sumpah keadilan bisa bekera dengan sebetul-betulnya untuk kemaslahatan seluruh rakyat. Tidak lebih dan tidak kurang, supaya kelima belas Punggawa yang sudah berlaku culas itu mendapatkan ganjaran.
Biarpun banyak mendapat halangan dan rintangan dalam gerakan yang dilakukan oleh Tuan Singa dan kawan-kawannya, sedikit banyaknya, dari setiap ketidakadilan yang dipertontonkan itu, rakyat dipenjuru negeri bisa menilai bagaimana tabiat asli dari Sang Raja supaya tidak salah dalam memilih junjungan kelak di kemudian hari.
Bukan tanpa alasan, gerakan yang dilakukan Tuan Singa ini merupakan puncak dari segala rasa ketidakpuasan terhadap kegagalan Sang Raja dalam mensejahterakan rakyatnya. Bahkan semua janji manis ataupun harapan yang dilontarkan Sang Raja pada masa awal kenaikan tahtanya sama sekali tidak pernah terwujud.
Kalaupun ada yang merasakan kesejahteraan, sudah barang pasti itu segelintir orang yang ada dalam lingkaran, sementara banyak sisanya dibiarkan merana, menderita menahan nestapa yang tiada akhirnya.
Siang itu, di pelataran Padepokan Libas Ganung yang lokasinya tidak jauh dari Keraton Sang Raja, Tuan Singa, sang Pendekar kesohor, bersama para Pendekar sejawatnya berkumpul membahas soal huru-hara bimtek dana desa, sekaligus menyatukan sikap mereka dalam melawan angkara murka.
Tidak banyak yang hadir disana, karena memang sebagian besar Pendekar dari dunia Persilatan sudah berada di bawah pengaruh Sang Raja sehingga tidak lagi mampu berbuat apa-apa. Sementara Pendekar dari golongan tua, rata-rata sudah menjadi pertapa atau sudah moksa.
Tapi mereka yang berkumpul disitu, kendati sedikit, merupakan Pendekar yang sepak terjangnya sudah diakui jagat alam raya, bahkan kerap membuat geger keraton. Diantara yang ada disana, nampak Pendekar Kidir dan Wati, duet maut dari Padepokan Mata Batin, yang dianggap biang kerok kekuasaan Sang Raja karena selalu menentang kebijakan yang merugikan rakyat.
Bahkan, Kang Sumar, Pendekar tidak pilih tanding yang selama ini kerap bentrok dengan pendekar lainnya juga ada disana untuk melakukan gerakan perlawanan terhadap angkara murka dalam ketidakadilan yang sudah sangat meraja lela.
Tuan Singa menatap tajam nirwana, matanya nanar menunjukan tekad yang tidak tergoyahkan. Bersama kawan-kawan sejawat seperjuangan yang ada, dia yakin dan percaya kalau setiap perjuangan yang dilakukan tidak akan sia-sia.
Bahkan tuhan sekalipun, tidak akan senang dengan dinasti yang sudah lama berkuasa namun menyengsarakan rakyatnya. Sudah saatnya rakyat di negeri itu bangun dari tidur panjang yang menyesatkan dari alam mimpi.
“Bangun saudaraku, terlalu lelap tidurmu hingga tidak kau tahu bagaimana kita sudah lama terbelenggu”.
Penulis : Regar Libas