Opini-koranlibasnews.com Berdasarkan data di Pengadilan Negri ada beberapa permohonan surat keterangan tidak sebagai terpidana untuk syarat pengurusan bakal calon anggota dewan.
Dari beberapa itu, pemohon pernah dipidana. Dan merupakan mantan narapidana dalam kasus korupsi.
Adanya eks napi korupsi yang bakal maju dalam kontestasi Pemilihan legislatif (Pileg) di Pemilu 2024 nanti, mendapat tanggapan dari masyarakat
Sampai dengan hari ini, polemik atas terbitnya Peraturan Komisi
Penyelenggaraan Pemilu (PKPU) masih menjadi perdebatan berkaitan dengan mantan koruptor yang dilarang untuk mengikuti kontestasi pemilu pada tahun 2024.
Menurut salah satu Tokoh Masyarakat, dari beberapa yang merupakan mantan koruptor itu tidak pantas atau layak dipilih dan duduk sebagai wakil rakyat baik sebagai legislator maupun senator.
Tokoh masyarakat menambahkan orang-orang yang duduk di kursi dewan itu adalah wakil yang terhormat.
“Namanya saja wakil rakyat yang terhormat. Jadi yang duduk itu harus orang yang terhormat dan punya integritas dan kapabilitas. Jadi para mantan koruptor ini tidak layak untuk di pilih,” ucap Tokoh
Meskipun ada aturan perundang-undangan yang memberi ruang atau karpet merah bagi mantan koruptor untuk nyaleg, kata dia apapun alasannya mereka tidak layak untuk di pilih.
Namun dilihat lebih dalam, lahirnya larangan kepada mantan koruptor untuk mencalonkan diri sebagai Caleg pada kontestasi Pemilu 2019 yang lalu tidak lepas dari apa yang termaktub pada pasal 4 poin b Undang-undang nomor 7 tahun 2018 tentang Pemilu yang dimana isinya adalah “tujuan dari penyelenggaraan Pemilu yakni untuk mewujudkan Pemilu yang Adil dan Berintegritas”. Jadi apa yang dilakukan KPU melalui PKPU yang diterbitkan merupakan tanggung jawab moril dan hukum sebagai salah satu ciri dari lembaga yang independen.
Berkaitan dengan Pemilu yang Adil dan Berintegritas, dalam hal ini penulis akan menekankan pada penyelenggara yang Berintegritas, karena dari apa yang diregulasikan melalui PKPU yang dikeluarkan nampaknya integritas inilah yang coba dikejar oleh KPU dalam upaya menuju demokrasi yang substasial, sehingga cabang dari intigeritas ini akan di uji oleh tiga aspek yang tak terpisahkan dalam proses penyelenggaraan demokrasi, yakni aspek Integritas Penyelenggara, aspek Integritas peserta yang dimana dalam UU Pemilu menyebutkan yang dimaksud peserta Pemilu adalah Partai politik atau perorangan untuk calon DPD, serta aspek integritas pemilih dalam proses Pemilu.
Dalam kaitan dengan aspek Integritas Penyelenggara, hal yang terpenting dalam membangun integritas penyelenggara maka perlu melibatkan lembaga-lembaga terkait seperti KPK dan lembaga-lembaga lain sebagai upaya membangun integritas penyelenggara ataupun jabatan publik lainnya.
Namun di sisi lain, aspek integritas peserta pemilu tidak ada yang bisa menjamin, apakah partai politik yang akan bertanding pada Pemilu 2024 memiliki komitmen yang sama yakni dengan menjaga integritas diri sebagai peserta Pemilu.
Maka tidak heran beberapa partai baru melakukan terobosan dengan tidak memberikan ruang kepada caleg eks koruptor untuk maju sebagai Caleg dari Partai tersebut.
Sedangkan dalam aspek integritas pemilih, realitas yang saat ini terjadi adalah politik uang seperti hal yang tak terpisahkan dalam proses demokrasi, maka tidak heran kepala daerah atau caleg mantan narapidana terpilih kembali sebagai pejabat publik. Untuk menjawab persoalan diataslah PKPU ini lahir untuk membangun Pemilu yang berintegritas.
Sambung Tokoh ada yang namanya logika hukum dan etika hukum.
“Di satu sisi kita mengedepankan etika politik. Dalam berpolitik itu kan ada yang namanya elektabilitas, integritas, kapabilitas seseorang. Bagaimana logikanya kalau mantan maling ini menjadi wakil rakyat. Sekali lagi ini menyangkut etika atau adab. Kesimpulannya mereka ini tidak layak dipilih dan duduk sebagai wakil rakyat,” tandasnya.
Ia menjelaskan, para narapidana kasus korupsi ini dapat mendaftar sebagai caleg sebab pada Undang-Undang (UU) No.7 Tahun 2017 Pasal 240 (1) huruf G tentang Pemilihan Umum (Pemilu) disebutkan, tidak ada larangan khusus bagi mantan narapidana kasus korupsi untuk mendaftar.
“Pada poin ini dijelaskan bahwa calon tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih. Kecuali secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan adalah mantan terpidana,” paparnya.
Maka atas dasar itu, meski sudah lebih dari lima tahun penjara, jika yang bersangkutan secara terbuka menyatakan bahwa ia merupakan mantan terpidana ataupun koruptor, maka tetap memenuhi syarat untuk mendaftar sebagai caleg.
“Lalu jika melihat UUD 1945 Pasal 28J (1), dikatakan bahwa kita harus menghormati hak asasi orang lain. Namun pada Pasal 28J (2) dijelaskan pula, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang, dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain,” ujarnya.
“Walaupun semua orang memiliki hak dan kebebasan dalam berpolitik, tapi tidak semua orang masuk ke dalam kriteria tersebut. Jadi memang ada batasannya, termasuk kriteria pendaftar caleg ini,” imbuhnya.
Terakhir Tokoh menyampaikan, meski demikian, semua kembali kepada para pemilihnya atau rakyat. Sebab kedaulatan tertinggi ada di tangan rakyat.
“Rakyat harus cerdas. Jangan memilih hanya karena fanatik terhadap partai. Lihatlah rekam jejak dari calon pemimpin yang ingin dipilih. Karena kedaulatan tertinggi ada d itangan rakyat, maka rakyat harusnya bisa memilih pemimpin yang baik dan berintegritas. Jika rakyat cerdas, maka para narapidana korupsi ini tidak akan terpilih,” tutup Tokoh
Penulis : Uta Libas
Editor : Redaksi