Opini-Koranlibasnews.com
Tidak pernah sedikitpun terbesit jika keputusan Sang Raja untuk mengangkat seorang wanita sebagai anggota Padepokan Olah Jiwa akan berakibat pada terbakarnya api cemburu Permaisuri.
Tanpa tedeng aling-aling, Permaisuri kesayangan Sang Raja menolak dengan alasan tidak mau ada matahari kedua. Entah apa maksud ucapan itu, namun Sang Raja tanpa bisa membantah hanya tertunduk sembari mengamini.
Malam itu di pendopo kerajaan, nampak beberapa orang kepercayaan Sang Raja berkumpul untuk menentukan siapa saja yang akan menjadi pengurus inti dari Padepokan Oleh Jiwa. Sebuah padepokan yang sekarang dipimpin oleh Sang Raja di penghujung masa kekuasaannya.
Selain untuk mengisi kesibukan di masa berakhirnya kekuasaan Sang Raja, Padepokan Olah Jiwa juga masih menerima kucuran ratusan juta Keping Emas setiap tahunnya dari kerajaan, yang lumayan untuk mengisi pundi-pundi Sang Raja ketika sudah tidak lagi memegang tampuk kekuasaan.
Jadi wajar kalau Sang Raja sangat bersemangat untuk menyusun anggota inti dari Padepokan Olah Jiwa yang akan menjadi salah satu penyokongnya ketika nanti sudah tidak lagi berkuasa.
Setelah setiap orang kepercayaannya yang berkumpul disana satu persatu menyampaikan pendapat dan masukannya masing-masing, Sang Raja menyarankan agar ada sosok wanita yang bisa dijadikan pengurus inti supaya tidak semua pengurusnya laki-laki.
Dari sana, Sang Raja menyarankan supaya salah satu dari dua orang sosok wanita agar bisa dijadikan pengurus inti Padepokan Olah Jiwa.
Tapi sial bagi Sang Raja, tepat setelah menyampaikan titahnya, Permaisuri yang sedari tadi mencuri-curi dengar, tiba-tiba muncul dan menyambar perkataan Sang Raja dengan menolak titah tersebut dengan alasan tidak mau ada matahari kedua.
Ucapan Permaisuri yang tiba-tiba itu, langsung membuat kaget setiap mereka yang hadir dalam musyawarah tersebut, tak terkecuali Sang Raja sendiri. Setiap kata-kata yang keluar dari mulut Permaisuri bagaikan belati yang menghujam ulu hati, tidak satupun yang bisa membantah atau menyela kata-kata yang menyambar bagai geledek di tengah hari itu.
Bahkan Sang Raja yang gagah berwibawa dihadapan rakyatnya, tidak mampu berkutik menghadapi Permaisuri yang bagai singa betina dengan kata-katanya siap menerkam dan mencabik-cabik siapa saja. Tanpa sepatah kata yang keluar dari mulutnya, Sang Raja hanya tertunduk mengamini setiap penolakan dari Permaisuri.
Murka Permaisuri memang cukup beralasan jika mendengar nama sosok wanita yang diusulkan oleh Sang Raja untuk menjadi pengurus inti Padepokan Olah Jiwa. Sebab, kedua wanita yang diusulkan itu memang sudah terkenal kecantikannya hingga ke penjuru negeri.
Dari desas-desus yang tersiar dikalangan rakyat jelata, kecantikan kedua sosok wanita yang di usulkan Sang Raja itu bahkan jauh melampaui kecantikan Permaisuri. Sehingga sangat wajar, jika sebagai seorang wanita, Permaisuri merasa terancam dengan kehadiran dua sosok tersebut dalam kepengurusan inti Padepokan Olah Jiwa.
Setelah penolakannya disetujui Sang Raja, Permaisuri yang masih murka terbakar cemburu langsung pergi meninggalkan ruang musyawarah dengan berapi-api. Mereka yang hadir disana tidak berani mengangkat kepala dengan mulut yang terkunci rapat.
Hingga akhirnya Sang Raja sendiri yang memerintahkan kepada setiap orang kepercayaanya untuk bubar dan menyudahi pertemuan tersebut.
Setelah mendengar penolakan dari Permaisuri, malam itu Sang Raja Nampak gelisah dan mondar-mandir kesana kemari ditemani secangkir Kopi. Tidak pernah terbesit dalam benaknya akan mendapati Permaisuri begitu terbakar api cemburu, hingga membuatnya malu.
Tapi apa daya, kendati sebagai Raja yang berkuasa atas negerinya, dia sama sekali tidak mampu membantah setiap ucapan dari Permaisuri. Memang Bukan rahasia lagi, kalau di belakang Sang Raja ada sosok Permaisuri yang memberikan perintah maupun kebijakan untuk dilaksanakan oleh Sang Raja.
Sudah lewat tengah malam, Sang Raja masih gundah didalam hatinya, keresahannya begitu mendalam mengetahui amarah Permaisuri, bahkan dia tidak berani untuk mendekati atau sekedar mendamaikan hati.
Terbayang sudah malam ini Sang Raja tidur di pelataran ditemani dingin dan nyamuk malam. Nasib baik tidak banyak mata mengetahui kejadian malam itu, kalau tidak, bagaimana lagi Sang Raja menunjukan muka di hadapan bawahannya.
Penulis : Sumarlin libas