Opini-Koranlibasnews.com Alkisah disuatu negeri nun jauh disana, telah terjadi huru-hara menggemparkan yang mengancam tampuk kekuasaan Sang Raja Huru-hara itu membuat sang raja bersama para punggawanya mesti berpikir keras memutar kepala. UN
Tidak masalah walau mesti menyerahkan tumbal asal bisa menyelamatkan muka Sang Raja dihadapan rakyatnya.
Bagaikan kesambar Petir di siang bolong, tidak pernah sedetikpun terpikir kalau acara bimtek dana desa yang diselenggarakan itu akan menjadi huru-hara sedemikian besarnya di kemudian hari. Padahal, di tahun-tahun sebelumnya, masalah yang muncul dari kegiatan serupa tidak pernah sedemikian peliknya.
Tepat beberapa hari sebelum dua Pengratin memenuhi undangan dari Penegak Aturan untuk dimintai keterangan, keduanya berinisiatif menghadap Sang Raja dikediamannya untuk menyampaikan perihal undangan dimaksud sekaligus memohon petunjuk dari junjungan mereka itu.
Tidak cukup lama setelah menyampaikan maksud tujuan kedatangan mereka, entah wangsit atau petunjuk yang muncul darimana, Sang Raja menyarankan agar kedua pengratin yang menjadi ujung tombak dalam kegiatan bimtek dana desa tersebut untuk ‘pasang badan’ demi menyelamatkan ke lima belas punggawa dari pusaran huru-hara.
Meski dengan berat hati, kedua Pengratin itu akhirnya mau ‘pasang badan’ setelah mendapatkan iming-iming dari Sang Raja bahwa keduanya akan diberikan pertolongan dan diselamatkan.
Namun sebagaimana janji tinggal janji dan sebagaimana nasib bawahan terhadap atasan, pertolongan Sang Raja untuk menyelamatkan mereka tidak pernah terwujud . Bahkan sialnya, kedua Pengartin yang sudah kadung terjerembab itu dipaksa berusaha menyelamatkan diri sendiri.
Bagai sudah jatuh ketimpa tangga, kelima belas Punggawa yang berusaha diselamatkan itu ternyata berkhianat dengan malah menjerumuskan kedua Pengratin agar menjadi tumbal bagi Penegak Aturan dalam rangka menyelamatkan muka Sang Raja.
Kembali pada hakikatnya aturan yang harus ditegakan, para Penegak Aturan yang bekerja sesuai dengan kenyataan, mau tidak mau harus mengikuti irama yang sudah ada, sebagaimana wangsit dan petunjuk Sang Raja dimana kedua Pengratin itu harus ‘pasang badan’.
Melihat bagaimana huru-hara bimtek yang sedang dipertontonkan,para Pendekar dari dunia persilatan sudah barang tentu tidak akan tinggal diam. Kendati banyak diantaranya yang berada di sisi Sang Raja, tapi tidak sedikit Pendekar yang berdiri menentang ketidakadilan yang sedang terjadi.
Pendekar yang berdiri menentang, menuntut agar Penegak Aturan dapat bekerja dengan mengedepankan rasa keadilan dimana keterlibatan kelima belas Punggawa dalam pusaran huru-hara bimtek jangan sampai diabaikan.
Sebab sebagaimana kebiasaan, huru-hara dalam bentuk apapun yang menyebabkan kegegeran dari suatu negeri tidak akan bisa dilakukan oleh satu dua orang saja, tapi harus ada sistem dan mekanisme yang ikut bekerja didalamnya.
Meski tidak disampaikan secara nyata, namun perihal wangsit Sang Raja yang disampaikan kepada kedua Pengratin itu mulai menjadi desas-desus dikalangan rakyat yang mencibir tingkah polah Sang Raja, dimana demi mempertahankan kekuasaan rela mengorbankan siapa saja.
Hal ini juga yang seharusnya menjadi pertimbangan dari seratusan Pengratin lainnya di Negeri itu soal bagaimana loyalitas mereka seharusnya diberlakukan.
Sebab, jika sudah masanya untuk harus menyerahkan tumbal. Sang Raja tidak pernah sungkan untuk mengorbankan siapa saja.
Bahkan para Abdi Dalem yang sepanjang hayatnya mengabdi kepada Sang Raja, tidak akan sungkan di lempar ke lembah nista jika memang diperlukan, dan itu sudah terjadi dimana menimpa lima orang Abdi Dalem yang harus menerima kenyataan pahit.
Ditengah prahara dari huru-hara yang ada, para Pendekar yang menentang ketidakadilan itu tengah berjuang untuk menyampaikan kebenaran meski kerap menerima diskriminasi.
Disisi yang lain, para Punggawa yang merasa sudah menerima jaminan dari wangsit Sang Raja tentu saja terlena dan menjadi besar kepala. Kelima belas Punggawa itu lupa soal bagaimana peran serta keterlibatan mereka dalam pusaran huru-hara bimtek dana desa masih bisa menjerat mereka.
Sementara Sang Raja sendiri tengah merenung diatas goyahnya singgasana yang mati-matian dia pertahankan, sambil merenung dan menunggu wangsit.
Penulis : Regar Libas