LAMPUNG BARAT-koranlibasnews.com Polemik tuntutan ringan Jaksa Penuntut Umum (JPU) kepada oknum Aparatur Sipil Negara (ASN) yang menjadi terdakwa dalam perkara Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) terus menarik perhatian publik. Bagaikan bola panas yang menggelinding kemana-mana, persoalan ini akhirnya menimbulkan spekulasi masyarakat soal sikap JPU yang dianggap sedang melindungi siapa dalam perkara ini.
Aktivis Lampung Barat, Sumarlin, menyebut jika JPU sangat keliru dalam memberikan tuntutan kepada terdakwa dalam perkara KDRT tersebut, karena seharusnya JPU memperhatikan bentuk kekerasan yang dialami oleh korban.
“Karena dijelaskan dalam Pasal 44 ayat 1, bahwa setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga di pidana paling lama 5 tahun. Jika dilihat dari ancamannya, sangat keliru jika JPU hanya menuntut 8 bulan, seharusnya pelaku KDRT diberikan hukuman berat biar efek jera, apalagi ini pelakunya oknum ASN yang pernah bertugas di Dinas KB Lampung Barat,” ujar Sumarlin.
Pertanyaannya, diteruskan, apakah dengan terdakwa yang meminta maaf kepada korban dalam persidangan maka bisa dijadikan alasan yang rasional untuk menuntut rendah terdakwa. “Kita tahu saat ini, karena masalah tuntutan itu saat ini pihak kuasa hukum korban sedang berjuang untuk mencari keadilan kemana-mana dan kami akan mendukung langkah perjuangan ini,” terusnya.
Sementara itu, Tim kuasa hukum korban dari Lembaga Bantuan Hukum Lampung Barat (LBH-LB), Hilda Rina, S.H.,M.H., juga mempersoalkan alasan JPU yang menuntut ringan hanya karena korban sudah memaafkan terdakwa. “Kalau dalam perkara ini JPU menuntut 8 bulan, dimana keadilan untuk korban. Banyak perkara dipersidangan yang terdakwanya meminta maaf dan dimaafkan, tetapi tidak jadi pertimbangan JPU dalam menuntut terdakwa,” ujarnya.
Lebih lanjut dikatakan jika korban sudah jelas menderita fisik dan psikis dan itu dibuktikan dengan hasil assesment dari psikolog. “Betul, korban sudah memaafkan tapi tidak untuk proses hukumnya. Untuk itu kami selaku tim Kuasa Hukum akan tetap membuat laporan ke Kejaksaan Agung mengenai tuntutan JPU yang sangat menciderai rasa keadilan. Kasus ini lex spesialis kok dituntut 8 bulan. JPU jangan main-main,” lanjutnya.
Lebih lanjut diterangkan bahwa seharusnya JPU memperhatikan perbuatan terdakwa yang sudah melakukan KDRT selama bertahun-tahun.
Dia juga mempertanyakan apakah tuntutan 8 bulan kurungan itu sudah memenuhi rasa keadilan bagi korban yang mengalami kekerasan baik secara fisik maupun psikis. Tuntutan 8 bulan itu sangat menciderai perasan korban dan kelurganya. Hanya karena korban dan kakak nya sudah memaafkan bukan berarti tuntutan 8 bulan itu sudah setimpal dengan perbuatan terdakwa kepada korban.
“Kan gak masuk akal hanya dengan kata maaf. Kalau begitu setiap ada perkara terdakwa suruh aja minta maaf sama korban tuntutan bisa serendah mungkin. Jadi harus dibedakan antara perdamaian dan minta maaf. Intinya, korban dan keluarga tidak puas dan tetap akan meneruskan persoalan ini kepada pihak Kejaksaan Agung,” tutupnya.
Penulis : Tim Libas
Editor : Redaksi