Oleh: Dr. Rumadi
Ketua Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Nahdlatul Ulama
Tulisan yang dimuat dalam Publik Bicara adalah opini dan analisis pribadi dari para penulis, dan tidak mewakili pandangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Sebuah studi yang pernah dilakukan oleh lembaga asal Amerika Serikat, Gallup, beberapa tahun lalu menyajikan suatu kesimpulan yang sangat menarik, bahwa makin miskin suatu negara, penduduknya menganggap makin penting peran agama di dalam kehidupan. Sebaliknya makin kaya negara, penduduknya menganggap peran agama kurang penting dalam hidupnya.
Survei tersebut dilakukan di 40 negara dengan 1000 responden di tiap negaranya. Menurut survei tersebut, negara miskin adalah negara yang pendapatan perkapitanya dibawah USD 2.000. Lalu negara kaya adalah negara yang perdapatan perkapitanya di atas USD 25.000.
Kemudian pertanyaannya, mengapa di negara yang penduduknya menganggap agama kurang penting, tetapi tingkat korupsinya rendah? Denmark misalnya, hanya ada 19 persen dari warganya yang menganggap agama itu penting. Tetapi negara ini merupakan yang paling bersih. Bandingkan dengan negara kita yang mayoritas beragama Islam dan pastinya percaya agama itu penting, korupsinya luar biasa. Peringkatnya di angka 90 dari 174 negara.
Lalu bagaimana sebenarnya peran agama dalam upaya pemberantasan korupsi? Karena semua agama mengajarkan kebaikan, tidak ada yang mengajarkan utuk berbuat curang, menyakiti atau mengambil hak orang lain.
Saya melihat ada kesalahan dari kebanyakan masyakarat kita dalam melihat atau memahami tentang kesalehan. Kesalehan masih dipahami sebagai kesalehan individual. Kalau orang taat beribadah, penampilannya religius atau sering mengajari orang sekitarnya mengaji misalnya, masyarakat langsung mempersepsikannya sebagai orang baik. Orang saleh. Ini bukan hanya dalam masalah korupsi saja, tetapi juga dalam masalah terorisme.
Secara personal mereka adalah orang yang taat dalam beragama. Tetapi itu saja belum cukup. Kesalehan dalam beragama juga harus bisa diwujudkan secara sosial. Sebagai ekspresi wujud keimanan kita dalam menggunakan anggota tubuhnya. Keimanan itu tidak cukup hanya dengan hati (tashdiq bil qalbi), tetapi juga dengan lisan (iqrar bil lisan) dan tetapi juga dengan amal perbuatan (amal bil arkan).
Amal perbuatan itu bisa dengan melakukan perbuatan yang baik. Yang bersifat personal misalnya berzina, berjudi, miras, menolong orang lain. Tetapi tidak hanya di situ, bisa juga menahan diri untuk tidak melakukan hal-hal yang dilarang. Misalnya menahan diri untuk tidak melakukan hal-hal yang merugikan banyak orang, seperti menyakiti orang lain, mencuri atau korupsi.
Maka dalam pengajaran agama, metode pun selain menekankan pada aspek ritual yang bersifat personal, tetapi juga memberikan pengajaran yang bersifat kesalehan sosial. Keduanya harus berimbang. Jadi tidak bisa juga kalau ada yang mengatakan, tidak shalat tidak apa-apa, yang penting berbuat baik, tidak tidak korupsi.
Membangun budaya masyarakat yang berintegritas memang buka pekerjaan instan. Tidak bisa dilakukan dadakan, secara tiba-tiba. Penanaman nilai-nilai ini harus dilakukan sejak kecil.
Sejak awal sudah ditanamkan, misalnya ‘”Kalau kamu membuang sampah sembarangan kamu bukan orang yang beriman. Kalau kamu menyakiti teman, kamu bukan orang beriman”’. Dan tentu saja diterangkan juga dampaknya terhadap orang lain. Itu harus ditanamkan sejak awal. Dari sisi pengajarnya juga harus orang-orang yang benar-benar mempunyai integritas dan sekaligus yang mempunyai sensitifitas terhada persoalan seperti korupsi. Maka gurunya juga harus di-drill, harus diberikan wawasan baru sehingga bisa diturunkan kepada anak didiknya.
Peran guru ini sangat penting dan sangat menentukan hasilnya. Karena bisa saja kurikulum atau bahan yang diajarkan sudah baik, tetapi kalau gurunya tidak baik, itu tidak ada artinya. Masih bagus, kalau pun kurikulumnya kurang tetapi gurunya berwawasan dan berintegritas. Itu masih bisa diharapkan.
Melakukan hal itu juga bukan hanya tanggung jawab guru sekolah atau orang tua saja, tetapi semua pihak. Guru di sini dalam arti orang yang berperan dalam menyampaikan pesan-pesan keagamaan seperti dai, khotib, pendeta atau pastur dan lainnya. Mereka adalah orang yang bisa membentuk karakter muridnya, masyarakatnya, jamaahnya. Jika orang-orang ini adalah orang yang tercerahkan secara agama, dalam arti mampu menyeimbangkan fungsi privat dan sosial dalam agama, merekalah yang dibutuhkan saat ini.
Ada sebuah cerita yang menarik. Ketika ditanyakan kepada pejabat di negara yang korupsinya sangat rendah sepeti Finlandia atau Denmak,”Apa yang membuat negara anda seperti itu padahal ritual keberagamaannya sedikit, hukumnya juga biasa saja? Apa yang telah dilakukan?”. Mereka menjawab, “Karena sejak kecil sudah diajarkan dan ditekankan hal-hal yang sifatnya privat dan mana yang publik. Itu saja.”. Sehingga ketika dewasa orang tahu mana yang boleh dan mana yang tidak boleh.
Maka khususnya di lingkungan Nahdlatul Ulama (NU), kalau biasanya kita hanya training permasalahan agama, sekarang kita masukkan juga persoalan publik. Karena agama juga harus punya peran dalam hal seperti ini. Kalau tidak, agama menjadi terasing terhadap persoalan riil yang sebenarnya dihadapi masyarakat dalam kehidupan sehari-hari.
sumber : KPK