Photo : Kantor Pusat Redaksi Media Libas News Merangin Jambi
Jambi-koranlibasnews.com Bertalian dengan surat edaran, Kapolri juga menerbitkan surat telegram yang berisi tentang pedoman penanganan perkara tindak kejahatan siber yang menggunakan UU ITE. Surat telegram itu terbit pada 22 Februari 2021.
Lewat telegram, Kapolri menyatakan tindak pidana yang dapat diselesaikan dengan cara restorative justice yaitu kasus-kasus pencemaran nama baik, fitnah, atau penghinaan. Ia pun meminta penyidik Polri tidak melakukan penahanan.
Sementara itu, tindak pidana yang mengandung unsur SARA, kebencian terhadap golongan atau agama dan diskriminasi ras dan etnis, serta penyebaran berita bohong yang menimbulkan keonaran tidak dapat diselesaikan dengan restorative justice.
Dalam penanganan perkara, Kapolri pun menginstruksikan seluruh kapolda agar gelar perkara dilaksanakan secara virtual kepada Kabareskrim up Dirtipidsiber dalam setiap tahap penyidikan dan penetapan tersangka.
Restorative justice merupakan salah satu prinsip penegakan hukum dalam penyelesaian perkara yang dapat dijadikan instrumen pemulihan dan sudah dilaksanakan oleh Mahkamah Agung dalam bentuk pemberlakuan kebijakan, namun tata pelaksanaannya dalam sistem peradilan pidana Indonesia belum dilakukan secara optimal.
Restorative justice sebagai alternatif penyelesaian perkara tindak pidana yang dalam mekanisme tata cara peradilan pidana, berfokus pada pemidanaan yang diubah menjadi proses dialog dan mediasi yang melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait.
Hal ini bertujuan untuk bersama-sama menciptakan kesepakatan atas penyelesaian perkara pidana yang adil dan seimbang bagi pihak korban maupun pelaku dengan mengedepankan pemulihan kembali pada keadaan semula dan mengembalikan pola hubungan baik dalam masyarakat.
Di dalam restorative justice terdapat prinsip dasar yang merupakan pemulihan kepada korban yang menderita akibat kejahatan dengan memberikan ganti rugi kepada korban, perdamaian, pelaku yang melakukan kerja sosial, maupun kesepakatan lain.
Hukum yang digunakan di dalam restorative justice tidak berat sebelah, tidak memihak, tidak sewenang-wenang, dan hanya berpihak pada kebenaran sesuai peraturan perundang-undangan serta mempertimbangkan kesetaraan hak kompensasi dan keseimbangan dalam setiap aspek kehidupan.
Berdasarkan Peraturan Jaksa Agung No. 15 Tahun 2020, syarat dalam melakukan restorative justice, yaitu:
1.Tindak pidana yang baru pertama kali dilakukan ,2. Kerugian dibawah Rp 2,5 juta
3.Adanya kesepakatan antara pelaku dan korban ,4.Tindak pidana hanya diancam dengan pidana denda atau dianca, dengan pidana penjara tidak lebih dari 5 tahun ,5.Tersangka mengembalikan barang yang diperoleh dari tindak pidana kepada korban
6.Tersangka mengganti kerugian korban
7.Tersangka mengganti biaya yang ditimbulkan dari akibat tindak pidana dan atau memperbaiki kerusakan yang ditimbulkan dari akibat tindak pidana
Permohonan perdamaian setelah persyaratan formil terpenuhi diajukan kepada atasan penyidik untuk mendapatkan persetujuan.
Setelah permohonan disetujui oleh atasan penyidik seperti Kabareskrim, Kapolda, Kapolres untuk selanjutnya menunggu ditetapkan waktu pelaksanaan penandatanganan pernyataan perdamaian.
Pelaksanaan konferensi yang menghasilkan perjanjian kesepakatan yang ditandatangani semua pihak yang terlibat.
Membuat nota dinas kepada pengawas penyidik atau Kasatker perihal permohonan dilaksanakannya gelar perkara khusus untuk tujuan penghentian perkara.
Melaksanakan gelar perkara khusus dengan peserta pelapor dan atau keluarga pelapor, terlapor dan atau keluarga terlapor, dan perwakilan masyarakat yang ditunjuk penyidik, penyidik yang menangani dan perwakilan dari fungsi pengawas internal dan fungsi hukum dan unsur pemerintahan bila diperlukan.
Menyusun kelengkapan administrasi dan dokumen gelar perkara khusus serta laporan hasil gelar perkara.
Menerbitkan surat perintah penghentian penyelidikan/penyidikan dan surat ketetapan penghentian penyelidikan/penyidikan dengan alasan restorative justice.
Penulis : Raja Tega