Oleh Patrick J. Tappy SH.
Pemerasan dalam pengertiannya dalam KBBI adalah perihal, cara, perbuatan memeras dengan memaksa orang menyerahkan barang atau uang dan sebagainya dengan ancaman, antara lain membuka rahasia yang dapat memburukkan namanya didepan umum. Tetapi dalam masyarakat dewasa seperti sekarang ini arti kata pemerasan adalah salah satu momok yang sangat menyeramkan. Pemerasan dalam Hukum sebagaimana diatur dalam Bab XXIII KUHPidana pada dasarnya terdiri dari dua macam yaitu tindak pidana pemerasan (affersing) dan yang kedua adalah tindak pidana pengancaman (afdreiging).
Pada dasarnya kedua hal tersebut memiliki unsur-unsur yang hampir sama. Karena itulah kedua tindak pidana tersebut dapat di temukan pada bab yang sama. Karena kesamaan karakteristik tersebut maka daripada menggunakan kedua kata affersing dan afdreiging pada masyarakat sekarang ini lebih terkenal dengan sebutan “Pemerasan”. Dalam KUHP “Pemerasan” dirumuskan pada ketentuan pasal 368 dan 369 yang berbunyi:
Pasal 368
(1) Barangsiapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, memaksa seorang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk memberikan barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang itu atau orang lain, atau supaya membuat hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena pemerasan dengan pidana penjara paling lama Sembilan tahun.
(2) Ketentuan pasal 365 ayat kedua, ketiga, dan keempat berlaku bagi kejahatan ini
Pasal 369
(1) Barangsiapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum. Dengan ancaman pencemaran baik dengan lisan maupun tulisan, atau dengan ancaman akan membuka rahasia, memaksa seorang supaya memberikan barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang itu atau orang lain. Atau supaya membuat hutang atau menghapuskan piutang, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.
(2) Kejahatan ini tidak dituntut kecuali atas pengaduan orang yang terkena kejahatan.
Dalam masyarakat hukum sekarang ini,, bukan hanya hukumnya saja yang berkembang akan tetapi sejalan dengan hal itu orang-orang yang mempergunakan hukum untuk melakukan suatu tindak pidana juga semakin berkembang. Dapat kita ambil contoh, dalam kasus pemerasan dapat kita temukan kekacauan hukum apa yang terjadi apabila hukum itu sendiri yang dipergunakan sebagai alasan untuk melakukan tindak pidana pemerasan. Berkembangnya internet sebagai sumber referensi masyarakat tidak berbanding lurus dengan pemahaman yang holistik tentang tujuan dari hukum itu sendiri. Banyak sekali oknum masyarakat mempergunakan dalil hukum sebagai referensi untuk melakukan kejahatan itu sendiri, Secara singkat tujuan hukum haruslah untuk keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum. Ketiga fundamental ini haruslah menjadi pilar-pilar yang saling menopang dalam penegakan hukum. Dapatkah sebuah aturan hukum digunakan untuk menjadi salah satu sumber dari tindak kejahatan? Jawabannya terletak kepada moralitas dan integritas dari masyarakat dan penegak hukum itu sendiri. Dapat kita ambil salah satu contoh pasal yang dapat dijadikan kedok untuk melakukan “Pemerasan” yaitu pasal 76 D dan 76 E Undang-undang nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.
Masalah yang dimaksud adalah bagaimana apabila sesungguhnya persetubuhan yang terjadi tersebut merupakan serangkaian modus operandi (kesengajaan) yang telah dipersiapkan untuk dapat melakukan “Pemerasan”. Bagaimana jika ada orang ketiga yang mendapatkan keuntungan atas hal tersebut?, karena dengan adanya ancaman pidana yang terdapat pada Pasal 81 ayat (1) dan ayat (2) Undang-undang nomor 35 Tahun 2014, akan banyak orang-orang yang menjadi korban dari modus operandi pemerasan yang berdasarkan dari dalil hukum persetubuhan dengan anak. Pada dasarnya seharusnya para aparat penegak hukum dalam menangani kasus pidana harus lebih jeli lagi dalam melihat maksud dan tujuan dari sebuah laporan tindak pidana, agar pada akhirnya aparat hukum tersebut dipandang telah melakukan tugasnya dengan baik, agar tidak terdapat lagi korban-korban “Pemerasan” yang berkedok dalil undang-undang. Dalam hal ini aparat penegak hukum harus dapat membuat terang suatu perkara dengan standar operasional prosedural yang diatur dalam KUHAP (kitab undang-undang Hukum acara pidana), penegak hukum harus hati-hati dalam melakukan tindakan hukumnya dan setiap tindakan hukum harus didasarkan kepada ketentuan hukum yang berlaku, dalam arti ia harus mampu menahan diri serta menjauhkan diri dari tindakan sewenang-wenang yang keluar dari batasan yang seharusnya.
Pada asasnya hukum pidana bersifat “Ultimum Remedium” artinya Sanksi Pidana adalah merupakan senjata terakhir jika sanksi-sanksi lain tidak dapat diterapkan untuk menyelesaikan permasalahan yang dimaksud.
Jakarta,minggu 9 Desember 2018
koranlibasnews.com