NTB-koranlibasnews.com Pontren Bumi Shalawat Nurul Madinah kuripan utara lombok barat. menggelar Halaqah Nasional Fiqh Peradaban dengan tema “Hak Hak Minoritas Dalam Perspektif Fiqh Islam”.
Halaqah Nasional tersebut merupakan program kementrian agama RI dan Pengurus Besar Nahdatul Ulama (PBNU). Buya Muhammad Subki Sasaki selaku pimpinan pontren dalam sambutan pembuka menyampaikan
“Halaqah Nasional Fiqh Peradaban ini diikuti oleh 70 Tuan Guru dan Asatiz se Lombok dari berbagai alumni pesantren dan ormas islam, bahkan non muslim juga kita undang “,ungkapnya
Adapun narasumber dalam kegiatan yang diadakan ahad 6 november 2022 tersebut adalah :
1. Dr. K.H. Rumadi Ahmad, M.A. ( Stafsus wapres bidang toleransi dan kerukunan , Ketua Lakpesdam PBNU)
2. Dr. K.H. Abdul Moqsith Ghazali, M.A. (Pakar hubungan antar agama, Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)
3. Prof. Dr. Hj. Atun Wardatun (Guru besar dalam bidang hukum Islam UIN Mataram.
4. Prof. Dr. Abdul Wahid M.A. ( Guru besar dalam bidang antropolgi agama di UIN Mataram)
Dalam acara tersebut Prof Abdul wahid dan Prof AtunWardatun menyampaikan bahwa Islam bukan agama yang stagnan dan anti terhadap pembaruan. Hal tersebut dapat dilihat dari ajaran Islam yang responsif terhadap perkembangan zaman.
Sementara itu Dr. Rumadi Ahmad dari stap khusus wapres dalam hal toleransi menyatakan bahwa Islam dihadirkan Tuhan sebagai jalan hidup (way of life) yang selalu berdialog dengan ruang dan waktu. Islam mengakomodir pembaruan dan inovasi dalam pemikiran keagamaan. Namun demikian, tidak semua Muslim memiliki pandangan yang sama.
Sementara itu ketua PWNU yang diwakili oleh Dr.Jumarim dalam pembukaannya menyindir
Ada komunitas Muslim merasa tidak nyaman dengan pelbagai upaya pembaruan dalam Islam dengan alasan bid’ah, bahkan pembaruan tersebut dianggap sesat.
Sebagai pemateri pamungkas disampaikan oleh cendikiawan muda NU Dr.KH. Abdul Muqsit Gazali dengan gaya khasnya yang memantik dan unik dalam metodologi usul fikih ” Muslim tidak boleh menolak rangsangan rangsangan pemikiran-pemikiran inovatif , kekinian dan berkemajuan. Hukum fikih tidak boleh stagnan karena fikih bukan saja tentang teks namun juga tentang konteks di antara cabang disiplin ilmu fikih yang sangat urgen untuk dikuatkan saat ini adalah gagasan-gagasan untuk membentuk dasar-dasar fikih minoritas Muslim (fiqh al-aqaliyyât) di seluruh dunia ” papar beliau
Secara konseptual fikih minoritas sejatinya bukan model fikih yang benar-benar baru dan terpisah dari fikih tradisional. Fikih minoritas hanyalah satu cabang dari disiplin ilmu fikih yang luas dalam Islam. Ia juga menggunakan anasir anasir usul fikih yang hampir sama dengan fikih lainya, karena ia merujuk pada sumber yang sama, yaitu Alquran, sunnah, ijma’, dan qiyas. Fikih aqalliyat adalah fikih muamalah bukan fikih ibadah.
Di antara isu-isu yang memantik urgensi penguatan fikih minoritas adalah: 1.Secara umum, tidak dapat dipungkiri bahwa negara belum benar-benar hadir untuk melindungi kelompok minoritas. Aturan, undang-undang, dan peraturan yang dibuat negara belum sepenuhnya mengakomodir hak-hak kelompok minoritas. Misalnya, pendirian rumah ibadah bagi komunitas minoritas beragama masih sulit dilakukan.
2, Konsep minoritas dalam perspektif Indonesia belum jelas karena selama ini minoritas hanya dipersepsikan sebagai kelompok minoritas dalam beragama dan kuwantitas.
3. Hak-hak minoritas dan mayoritas yang belum dipertegas baik dari sisi persamaan dan perbedaannya; 4. Perlunya peninjauan kembali hak-hak minoritas dalam perspektif negara.
5. Perlunya mempertegas hak hak minoritas dalam perspektif fikih Islam.
Dalam wawancara kami dengan Buya Subki Sasaki beliau menyampaikan beberapa harapan sebagai hasil dari acara halaqah :
1. Merumuskan kepastian hukum formil dan hukum fikih Islam terkait hak-hak minoritas;
2. Merumuskan hak-hak minoritas yang terhalangi dalam kehidupan beragama dan berbangsa;
3. Merumuskan prosedur atau tata cara masyarakat minoritas melakukan somasi kepada negara terkait hak-hak mereka di NKRI;
Penulis : red