Polri Bantah Penyalahgunaan Kekuasaan Penegak Hukum dalam UU Tipikor

JAKARTA-Koranlibasnews.com Kepolisian Republik Indonesia (Polri) menjadi Pihak Terkait dalam sidang pengujian materi Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) di Mahkamah Konstitusi (MK). Polri melalui kuasa hukumnya Veris Septiansyah membantah Pasal 21 UU Tipikor berpotensi menyebabkan penyalahgunaan kekuasaan oleh aparat penegak hukum (APH).

“Polri berpandangan bahwa perumusan ketentuan Pasal 21 sebagai bentuk perlindungan integritas proses hukum yang bertujuan menciptakan safe zone bagi aparat penegak hukum untuk bekerja secara profesional, melindungi proses penyidikan dari berbagai bentuk tekanan eksternal, memastikan independence of judiciary dalam menangani kasus korupsi. Dalam filosofi, hukum harus berjalan tanpa tekanan apapun,” ujar Veris dalam persidangan pleno Perkara Nomor 71/PUU-XXIII/2025 pada Kamis (21/8/2025).

Bacaan Lainnya

Dia menjelaskan perumusan pasal a quo adalah untuk mencegah obstruction of justice itu sendiri yang dilatarbelakangi secara konseptual pada ketentuan Pasal 221 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang merupakan pasal yang mengatur hukum tentang tindak pidana pelaku yang berupaya menghalang-halangi suatu proses hukum. Namun hal tersebut dianggap tidak memadai untuk konteks korupsi yang kompleks.

Dengan kebutuhan khusus, yakni kasus korupsi melibatkan jaringan kekuasaan yang kompleks, diperlukan pelindungan ekstra terhadap proses penegakan hukum. Dimana obstruction dalam kasus korupsi tidak sangat sophisticated dan terselubung atau terlalu kompleks.

Di samping itu pula, ketentuan pasal a quo memberikan efek deterrent dengan maksud strategis, yaitu menciptakan psychological barrier bagi siapapun yang ingin mengintervensi, memberikan signal politik yang kuat tentang keseriusan pemberantasan korupsi, serta mencegah curtail of impunity yang selama ini mengakar. Dengan demikian, penerapan pasal a quo telah dibatasi dengan mekanisme yang diatur dalam ketentuan hukum pidana maupun hukum acara pidana yang berlaku di Indonesia.

BACA JUGA  Anggota Komisi III DPR RI Bamsoet: Jangan Biarkan Mafia Tanah Rusak Kepastian Hukum dan Iklim Investasi

Sementara itu, Mahkamah Agung (MA) juga menjadi Pihak Terkait dalam perkara ini. MA yang diwakili kuasa hukumnya Tri Baginda mengatakan UU Tipikor tidak memberikan pembatasan ataupun penjelasan mengenai apa yang dimaksud dengan frasa tidak langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 UU Tipikor.

“Hingga saat ini, MA belum merumuskan kebijakan atau pedoman yang menjelaskan pengertian maupun batasan penggunaan frasa tidak langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 Undang-Undang Tipikor,” kata Tri.

Dalam beberapa putusan yang memuat dakwaan berdasarkan Pasal 21 UU Tipikor terdapat pembatasan yang menyatakan pasal tersebut tidak dapat diterapkan terhadap seseorang yang berstatus tersangka atau terdakwa dalam tindak pidana korupsi pokok, atau terhadap upaya pembelaan dirinya yang diperkenankan oleh hukum, atau terhadap perbuatan yang sifatnya berupa saran atau pendapat. Putusan dimaksud antara lain Putusan MA Nomor 6644K/Pid.Sus/2024, Putusan Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat Nomor 36/Pidsus-TPK/2025, dan Putusan MA Nomor 78 PK/Pid.Sus/2021.

Pembatasan tersebut antara lain didasarkan pada asas non-self-incrimination atau nemo tenetur se ipsum accusare yang pada dasarnya menyatakan seseorang tidak boleh dipaksa memberikan kesaksian atau bukti yang memberatkannya dalam perkara pidana. Asas tersebut merupakan hak konstitusional sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 28D Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 yang menjamin hak atas pengakuan, perlindungan, kepastian hukum yang adil, serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Kemudian juga diatur secara tegas dalam Pasal 14 ayat (3) huruf g International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) yang diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005.

Oleh karena UU Tipikor tidak menjelaskan dan tidak juga memberikan batasan mengenai apa yang dimaksud tidak langsung dalam Pasal 21, dalam praktik peradilan pembuktian unsur tidak langsung, terbuka ruang penafsiran bagi hakim sepanjang dimaknai ‘untuk penegakan aturan Undang-Undang Tipikor’. Dalam praktik peradilan, terdapat kemungkinan terjadinya perbedaan penafsiran terhadap frasa tidak langsung dalam Pasal 21 Undang-Undang Tipikor, dan hal tersebut diperbolehkan dalam hukum pidana.(Tim)

LIBAS GROUPbanner 728x120

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *