Subang-koranlibasnews.com Terkait rencana PT. Sang Hyang Seri (SHS) untuk merubah sistem pengolahan lahan sawah petani penggarap dari sistem kerjasama menjadi dua opsi atau pilihan sistem swakelola murni atau sistem pawong di Blok S dan B yang merupakan program restorasi.
Beberapa hari yang lalu bertempat di Ruang Meeting Kantor Pusat PT. SHS, Sukamandi, Kabupaten Subang, Jawa Barat, Ketua Ormas Gival Dauscobra menemui Direktur Produksi PT. SHS Karyawan Gunarso untuk klarifikasi terkait rencana PT.SHS.
“Dari total 802 hektar (Ha) lahan swakelola yang sudah berjalan seluas 418 Ha yang dibagi menjadi 151 Ha sebagai contoh model yang sudah diterapkan dengan pola pasangan, yang menggunakan 3 pola riset pengolahan yaitu G Lite seluas 100 Ha, Batara seluas 104 Ha, Wilmar seluas 7,5 Ha dan selias 2 Ha untuk riset,” papar Karyawan Gunarso atau akrab disapa Wawan.
Wawan mengatakan bahwa untuk lahan di blok S dan B dengan luas 306 Ha yang sekarmag dipermasalahkan oleh petani merupakan target rencana peluasan lahan swakelola PT. SHS.
“Opsi yang kami tawarkan adalah pola swakelola murni berarti petani hanya sebagai pekerja dan menerima upah kerja saja sedangkan pola pawongan yaitu petani tetap dilibatkan dalam pengolahan yaitu petani diberikan biaya pengolahan lahan, penanaman dan perawatan sedangkan untuk pupuk dan saprodi ditanggung oleh pihak PT. SHS atau mitra,” jelas Wawan.
Wawan menambahkan untuk petani yang mendapatkan hasil produksi padi sesuai target yaitu sebanyak 6,2 ton maka akan diberi reward selain dari biaya upah kerja yang ditentukan agar petani penggarap tetap merasa miliki dan bersungguh-sungguh dalam melaksanakan pengelolaan.
Namun Dauscobra di tempat yang sama memiliki pendapat yang berbeda dengan pihak PT. SHS.
“Bagi saya penerapan swakelola di lahan yang sudah puluhan tahun dengan sistem kerjasama PT.SHS terlalu memaksakan karena ada lahan lain yaitu di blok S16 sampai S19 dan L7 sampai L13 yang tadinya swakelola tapi berubah menjadi kerjasama,” ucap Dauscobra kepada pihak PT. SHS.
Dauscobra berpendapat penerapan sistem pengolahan lahan dengan pola yang menggunakan pupuk organik yang sudah berjalan saja belum dapat dilihat hasilnya karena masih dalam proses.
Dausobra juga menceritakan bahwa pada sistem swakelola yang dulu pernah diterapkan, PT. SHS tidak menepati janji yaitu tidak adanya biaya pengelolaan, ketidakjelasan distribusi pupuk, keterlambatan saprodi yang berakibat pada rusaknya tanaman padi, adanya serangan hama dan diperkirakan rata-rata perolehan panen hanya mencapai 4 ton perhektar.
“Terlalu dini dan prematur untuk menerapkan sebuah metode yang belum terbukti hasilnya dan hal ini berkesan petani hanya akan dijadikan kelinci percobaan saja,” ujar Daus.
Daus mengatakan seharusnya pihak PT. SHS melakukan riset atau uji coba di lahan demplot khusus yang tidak terlalu luas bukannya di lahan yang dikelola petani penggarap.
“Saya tetap mendukung petani untuk tetap menolak sistem swakelola murni maupun pawong dan tetap bertahan di pola kerjasama yang sudah jelas menguntungkan kedua belah pihak,” tegas Dauscobra.
Pada pertemuan tersebut belum tercapai kesepakatan anatara kedua belah pihak yaitu PT. SHS dan petani yang diwakili oleh Dauscobra. Rencananya Dauscobra akan mengirimkan surat permohonan audiensi dengan pihak PT. SHS.
Penulis : Uta/ Nanang suparman
Editor : Redaksi