Jakarta-Koranlibasnews.com Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang lanjutan Permohonan Nomor 184/PUU-XXIII/2025 ihwal pengujian Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba) sebagaimana telah diubah melalui Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2025. Sidang yang berlangsung pada Kamis (11/12/2025) di Ruang Sidang MK itu sedianya beragenda mendengar keterangan ahli dan saksi dari Presiden (Pemerintah).
Namun, Mahkamah menerima surat dari Pemerintah. Intinya, Pemerintah memohon penundaan pemberian keterangan ahli dan saksi.
“Kami dari Majelis Hakim bisa menerima permohonan ini karena Peraturan MK hanya memberikan kesempatan satu kali penundaan. Oleh karena itu, persidangan belum dapat dilanjutkan,” ujar Ketua MK Suhartoyo seraya menambahkan bahwa jadwal sidang berikutnya belum dapat ditentukan karena padatnya perkara yang harus ditangani pada Desember 2025, ditambah beberapa hari yang tidak efektif di bulan tersebut.
Sebagai informasi, Permohonan Nomor 184/PUU-XXIII/2025 mengenai uji materiil UU Minerba diajukan enam warga negara. Para Pemohon yaitu Wahyu Ilham Pranoto (Pemohon I), Muhammad Faza Aulya’urrahman (Pemohon II), Fauzan Akbar Mulyasyah (Pemohon III), Yudi Amsoni (Pemohon IV), Nasidi (Pemohon V), dan Sharon (Pemohon VI). Mereka adalah mahasiswa dan aktivis, serta warga lokal dan masyarakat hukum adat. Para Pemohon mempersoalkan pergeseran peran negara dari penguasa sumber daya alam menjadi sekadar penerima iuran dari pelaku usaha tambang.
Privatisasi Sumber Daya Alam
Dalam sidang perdana yang digelar di MK pada Senin (20/10/2025) para Pemohon melalui kuasa hukumnya, Aristo Marisi Adiputra Pangaribuan mengatakan bahwa UU Minerba membuka ruang privatisasi sumber daya alam yang berlebihan dan berpotensi bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945, yang menegaskan bahwa kekayaan alam harus digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
“Undang-undang ini menjadikan negara hanya sebagai penerima royalti, bukan pengelola sumber daya. Data yang kami ajukan menunjukkan bahwa porsi pendapatan negara dari royalti tambang tidak pernah melebihi 20 persen dari keuntungan perusahaan,” ungkap Aristo kala itu.
Dalam permohonan tersebut, para pemohon mempersoalkan Pasal 35 dan Pasal 92 UU Minerba. Menurut para pemohon, pasal-pasal tersebut telah mengurangi peran negara dalam menguasai dan mengelola sumber daya alam, serta berpotensi melanggar prinsip keadilan sosial.
Pasal 35 UU Minerba mengatur perizinan dari pemerintah pusat. Sedangkan Pasal 92 UU Minerba berkaitan dengan kepemilikan hasil tambang oleh pihak swasta. Pasal 92 yang memberikan hak kepemilikan kepada pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) atas hasil tambang.
Dalam petitumnya, para pemohon meminta Mahkamah Konstitusi untuk menyatakan pasal-pasal yang diuji bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Penulis : Tri Libas
Editor : Redaksi












