Nasional-koranlibasnews.com Pada sistem demokrasi, wartawan bukanlah lawan yang harus diwaspadai atau musuh birokrasi itu sendiri.
Mereka justru memainkan peran penghubung antar masyarakat dan birokrasi maupun pemerintah, mereka membuka jembatan komunikasi pada publik untuk mengetahui jawaban dari pertanyaan-pertanyaan untuk membuka jalannya informasi, dari berbagai tuntutan publik seperti transparasi, akuntabilitas, dan komunikasi yang jujur pada pemerintah.
Sebelumnya, memang perusahaan pers disyaratkan untuk memiliki izin yang dibuktikan dengan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP).
Berdasarkan Pasal 1 angka 1 UU Pers, pengertian dari Pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis uraian yang tersedia.
Ketentuan bahwa perusahaan pers harus berbentuk badan hukum ini ditegaskan dalam Pasal 9 ayat (2) UU Pers bahwa setiap Perusahaan Pers harus berbentuk badan hukum Indonesia.
Padahal disini sudah jelas perusahaan pers tidak memerlukan izin dari Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) atau dari Dewan Pers.
Karena perusahaan pers disyaratkan berbentuk badan hukum, maka perizinan yang diperlukan adalah perizinan sesuai dengan badan hukum yang dibentuk.
Untuk perusahaan pers, yang lebih perlu diperhatikan adalah mengenai aspek pemberitaan sebagai bagian dari kegiatan jurnalistik.
Sesuai Pasal 12 UU Pers Perusahaan Pers diwajibkan untuk mengumumkan nama, alamat dan penanggung jawab secara terbuka melalui media yang bersangkutan; khusus untuk penerbitan pers ditambah nama dan alamat percetakan.
Dari segi pemberitaan, media online sebagai alat jurnalistik harus tunduk dan taat pada Kode Etik jurnalistik dan berpegang pada Pedoman Pemberitaan Media Siber.
Aneh nya sebagaian pejabat Birokrasi malah membuat aturan tertulis tentang larangan wawancara dan dokumentasi bagi jurnalis yang hendak meliput di intansi tersebut.
Fikri Yanto SH juga mempertanyakan alasan dibuatnya peraturan itu.
Ia menilai, jika peraturan tersebut dibuat dengan alasan menganggu ketertiban, hal itu harus dapat dibuktikan terlebih dulu.
Sebab jika tidak, alasan tersebut terkesan mengada-ada sehingga menghambat akses wartawan memperoleh informasi.
Pemerintah maupun pejabat birokrasi dan jurnalis seharusnya berjalan bersamaan dalam misi pelayanan publik.
Wartawan bertanya bukan karena ingin menjatuhkan, melainkan karena ingin mengungkap, menjelaskan, dan mewakili isi dari keresahan publik.
Menghargai pekerjaan pers bukan hanya soal etika, tetapi juga bagian dari tanggung jawab moral pemerintahan maupun pejabat birokrasi yang bersih dan terbuka.
Sebab kepercayaan masyarakat dibangun bukan dari retorika, melainkan dari kemauan untuk mendengar dan bersedia menjawab dengan jujur.
Bilamana ada salah satu pejabat Birokrasi yang melarang wartawan masuk dan memberitakan peristiwa negatif di wilayah intasnsi tersebut dinilai sebagai pelanggaran serius terhadap kebebasan pers.
Ketua Umum DPP LBH LIBAS Fikri Yanto SH, menilai bahwa kejadian tersebut bukan hanya serangan terhadap individu wartawan, melainkan bentuk nyata pembungkaman pers dan ancaman langsung terhadap demokrasi.
Kepolisian memiliki dasar hukum yang sangat cukup untuk menindak tegas pelaku intimidasi tersebut.
Berdasarkan UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, KUHP, dan KUHAP, tindakan menghalangi wartawan dalam menjalankan tugas jurnalistik adalah perbuatan pidana,” ungkap Fikri
Termasuk Pelarangan masuk dan peliputan terhadap isu negatif, yang merupakan bentuk penyensoran, melanggar Pasal 4 dan 18 UU No. 40/1999.
Tindakan dilakukan secara bersama-sama atau terkoordinasi, sehingga dapat dijerat Pasal 55 KUHP.
Jika dilakukan oleh aparatur pemerintah di tingkat desa atau kecamatan, maka bisa diancam dengan Pasal 421 KUHP tentang penyalahgunaan wewenang oleh pejabat.
Ini bukan delik aduan. Polisi tidak perlu menunggu laporan.
Jika mereka lambat bertindak, publik patut curiga ada oknum aparat di balik aksi pembungkaman ini,” tegas Fikri Yanto SH.
Ketika jurnalis dibungkam, maka masyarakat kehilangan hak atas informasi.
Ini adalah lonceng bahaya bagi demokrasi.
Negara wajib hadir membela kebebasan pers sebagai pilar keempat demokrasi,” lanjutnya.
Ia menyerukan agar aparat penegak hukum segera bertindak tanpa pandang bulu, untuk menunjukkan keberpihakan pada hukum dan demokrasi.
Bagaimana menurut Anda? Perlukah akses jurnalis dibatasi untuk menjaga marwah Birokrasi ? Ataukah pembatasan itu terlalu mengada-ada? (Red)












