Jakarta-koranlibasnews.com Endang Samsul Arifin yang berprofesi sebagai dosen menguji konstitusionalitas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2025 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah ke Mahkamah Konstitusi. Sidang Pendahuluan dari Permohonan Nomor 237/PUU-XXIII/2025 ini dilaksanakan oleh Hakim Konstitusi Arief Hidayat di Ruang Sidang Panel MK pada Selasa (9/12/2025).
Pemohon dalam hal ini mendalilkan Pasal 13 ayat (2) UU Haji dan Umroh yang menyatakan, “Pembagian kuota haji reguler sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada pertimbangan: a. Proporsi jumlah penduduk muslim antarprovinsi; dan/atau; b. Proporsi jumlah daftar tunggu jemaah haji antarprovinsi” yang dinilai bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945.
Pemohon menyampaikan bahwa pada musim haji 2025, Menteri Agama telah menetapkan pembagian kuota haji reguler berdasarkan pertimbangan proporsi jumlah penduduk muslim antarprovinsi. Kemudian pada musim haji 2026, Menteri Agama menetapkan pembagian kuota haji reguler berdasarkan pertimbangan proporsi daftar tunggu jemaah haji antarprovinsi.
Akibat ketentuan Pasal 13 ayat (2) UU Haji dan Umrah berujung pada ketiadaan ketentuan yang jelas terkait skema pembagian kuota haji reguler secara tegas dan pasti. Sehingga para calon jemaah haji reguler tidak dapat memprediksi opsi yang akan dipilih dan/atau ditetapkan oleh Menteri dari tahun ke tahun. Alhasil, para calon jemaah haji reguler berada dalam kondisi ketidakpastian terkait estimasi tahun keberangkatannya.
Pemohon mendalilkan juga bahwa calon jemaah haji reguler yang pada awalnya diprediksi akan berangkat pada tahun berikutnya berdasarkan perhitungan kuota tahun sebelumnya, sangat mungkin batal keberangkatannya jika ternyata kuota provinsinya berubah secara tiba tiba. Begitu juga calon jemaah haji reguler yang pada awalnya diprediksi tidak akan berangkat pada tahun berikutnya berdasarkan kuota tahun sebelumnya, sangat mungkin menjadi harus berangkat jika ternyata kuota provinsinya berubah secara tiba tiba.
“Kondisi ketidakpastian bagi para calon jemaah haji reguler yang disebabkan oleh kemungkinan berubahnya skema pembagian kuota haji reguler antarprovinsi pada setiap tahunnya, sangat berpotensi menimbulkan persepsi inkonsistensi kebijakan dan persepsi ketidakadilan atas kebijakan pemerintah, yang pada akhirnya dapat menurunkan kepercayaan publik kepada sistem dan tata kelola haji di Indonesia,” urai Endang.
Pemohon berpandangan norma pasal 13 ayat (2) UU Haji dan Umrah hanya dapat memberikan kepastian hukum yang adil dan sesuai prinsip yang terkandung dalam pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, apabila norma tersebut menentukan secara tegas dan pasti pembagian kuota haji reguler menggunakan skema kombinasi yang dilakukan secara secara adil dan berimbang. Dua skema pembagian kuota haji reguler antarprovinsi yang terdapat di dalam norma pasal tersebut seharusnya tidaklah dipertentangkan, namun dikombinasikan secara adil dan berimbang.
Oleh karenanya, Pemohon memohon agar Mahkamah menyatakan Pasal 13 ayat (2) Undang Undang Nomor 14 Tahun 2025 Tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah bertentangan dengan Undang Undang Dasar (UUD) NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai bahwa “Pembagian kuota haji reguler sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada pertimbangan proporsi jumlah penduduk muslim antarprovinsi dan proporsi jumlah daftar tunggu jemaah haji antarprovinsi secara adil dan berimbang”.
Kerugian Konstitusional
Dalam nasihatnya, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih memberikan masukan tentang norma yang diujikan terhadap UUD NRI 1945, maka Pemohon dapat menjelaskan terlebih dahulu kualifikasi Pemohon, syarat konstitusionalitas Pemohon. “Haknya apa yang diberikan UUD NRI 1945. Benar tidak anggapan dari keberlakuan norma ini merasa dirugikan?” jelas Enny.
Sementara Hakim Konstitusi Anwar Usman menambahkan perlu bagi Pemohon untuk mencari negara dengan mayoritas muslim terkait mekanisme pelaksanaan kuota haji untuk diperbandingkan pada permohonan perbaikan Pemohon. “Pada pasal yang diuji sebenarnya ada kelonggaran, tetapi pada permohonan Pemhon meminta rumusan yang komulatif. Jadi agar diperjelas permohonannya dan ditambah ada tambahan klausul adil dan berimbang. Ini harus diperjelas lagi,” terang Anwar.
Sebelum menutup persidangan, Hakim Konstitusi Arief Hidayat selaku Ketua Panel Hakim mengatakan bahwa Pemohon diberikan waktu selama 14 hari untuk menyempurnakan permohonannya. Naskah perbaikan tersebut dapat diserahkan selambat-lambatnya pada Senin, 22 Desember 2025 pukul 12.00 WIB ke Kepaniteraan MK. Untuk kemudian Mahkamah akan menjadwalkan sidang berikutnya dengan agenda mendengarkan pokok-pokok perbaikan permohonan Pemohon.
Penulis : Tri Libas
Editor : Redaksi












